Menu

Mode Gelap

Opini · 23 Jun 2025 10:35 WITA ·

Tambang: Maut atau Harapan?

badge-check

Redaksi


 Dedi Askary. Foto: Istimewa Perbesar

Dedi Askary. Foto: Istimewa

Oleh: Dedi Askary
Mantan Deputi Direktur Walhi Sulteng, Ketua Dewan Daerah Walhi Sulteng, dan anggota Dewan Nasional Walhi

Perdebatan soal pertambangan—baik legal maupun ilegal—kian bising terdengar di Sulawesi Tengah. Di Parigi Moutong, Morowali, hingga kawasan Poboya di Kota Palu, praktik tambang mengundang pro dan kontra nyaris tanpa ujung. Persoalannya bukan lagi semata soal izin, melainkan bagaimana tambang memberi manfaat atau sebaliknya, mudarat.

Gubernur Sulawesi Tengah sendiri dalam berbagai kesempatan menyuarakan kegelisahan atas ketimpangan hubungan antara pusat dan daerah penghasil tambang. Derasnya arus investasi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan warga di lingkar tambang. Ironisnya, tambang yang berizin justru kerap memunculkan kerusakan yang sistematis: hutan gundul, pencemaran air, hingga konflik sosial. Tuduhan bahwa tambang hanya menyisakan luka lingkungan bukan sekadar paranoia. Sayangnya, menutup tambang sepenuhnya juga bukan jawaban.

Membayangkan dunia tanpa tambang adalah utopia. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia bergantung pada hasil bumi: dari fondasi rumah, kabel listrik, hingga ponsel di tangan. Data USGS Minerals menunjukkan bahwa 90 persen barang yang digunakan manusia berasal dari material tambang—mulai dari silika, litium, hingga tembaga. Bahkan kosmetik pun mengandalkan mika.

Transisi energi hijau, yang kerap dianggap solusi peradaban masa depan, ternyata justru memperluas kebutuhan terhadap bahan tambang. Mobil listrik membutuhkan nikel; turbin angin dan panel surya tak bisa hidup tanpa aluminium, tembaga, dan perak. Laporan International Energy Agency (IEA) tahun 2021 memprediksi lonjakan permintaan mineral penting meningkat 4 hingga 6 kali lipat untuk mencapai target net zero emission.

Pertanyaannya: mungkinkah Indonesia, sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel, tembaga, emas, dan bauksit terbesar, justru berhenti menambang dan menjadi pembeli dari negara lain? Tentu tidak.

Yang lebih tepat adalah bagaimana tambang dikelola. Negara-negara seperti Australia, Norwegia, dan Kanada membuktikan bahwa sumber daya alam bisa menjadi berkah jika disertai dengan tata kelola yang kuat, sistem royalti yang adil, dan pengawasan ketat. Sebaliknya, negara-negara gagal seperti Venezuela, Kongo, atau Afghanistan memperlihatkan bagaimana kekayaan alam bisa menjadi kutukan ketika diserahkan pada sistem yang korup dan rapuh.

Sayangnya, di Indonesia, kontribusi besar sektor tambang belum sepenuhnya dirasakan rakyat. Pada 2023, sektor tambang dan penggalian menyumbang lebih dari Rp 2.198 triliun atau sekitar 10,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Namun pertanyaannya: ke mana saja uang itu mengalir?

Karena itu, sudah waktunya negara membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Tambang—sebuah institusi mirip sovereign wealth fund, yang mengelola dana dari peningkatan royalti sektor tambang. Dana ini tidak langsung dibelanjakan seperti skema APBN saat ini, tapi dikelola untuk masa depan: mendanai riset energi terbarukan, memperkuat cadangan fiskal, serta menjaga keberlanjutan ekonomi pasca-tambang.

Biaya produksi tambang di Indonesia yang tergolong murah memberi ruang untuk skema ini. Tambahan royalti 1–2 persen masih membuat tambang Indonesia kompetitif, bahkan saat perusahaan nikel di Western Australia mulai kolaps karena kalah saing dari Indonesia.

Kebijakan seperti ini akan menjadi titik balik penting. Pertambangan tidak harus haram. Yang dibutuhkan adalah pengelolaan berbasis prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Reklamasi wajib dijalankan. Manfaat harus dirasakan masyarakat sekitar. Transparansi harus menjadi napas utama.

Menutup semua tambang hanya karena kecewa bukan sikap bijak. Yang perlu dihentikan adalah tambang yang rakus dan serakah. Bukan tambangnya, tapi kerakusannya. **

Artikel ini telah dibaca 63 kali

Baca Lainnya

Menanti Terobosan Erwin–Sahid

22 Juni 2025 - 20:14 WITA

Dedy Askary

Sawit Ilegal dan Pembangkangan terhadap Negara

18 Juni 2025 - 21:56 WITA

Dedy Askari, Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah

Sulawesi Tengah, Nirwana yang Terancam Pertambangan

16 Juni 2025 - 10:05 WITA

Dedi Askary, SH

PSU, Nafsu Berkuasa yang Mengorbankan Rakyat

1 Maret 2025 - 19:56 WITA

Dibalik Layar Judi Online: Iming-iming yang Mencelakakan

6 November 2024 - 11:29 WITA

Situs judi online marak di Indonesia

Maraknya Situs Judi Online: Ancaman di Balik Layar Digital

6 November 2024 - 10:37 WITA

Situs judi online masih marak dan beredar luas
Trending di Kriminal & Hukum