Oleh: Dedi Askary, SH
“Setiap laki-laki adalah pemimpin.” Demikian bunyi hadis Nabi Muhammad SAW yang kerap dijadikan pijakan tafsir tentang peran kepemimpinan. Tafsir itu, meski bisa diperdebatkan dalam konteks relasi sosial modern, mengandung makna esensial bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab, bukan sekadar kekuasaan. Ia bukan hak istimewa, melainkan kewajiban untuk mengarahkan, menuntun, dan melayani.
Dalam konteks inilah kita menanti terobosan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Parigi Moutong, Erwin Burase dan Abdul Sahid. Keduanya adalah representasi pilihan rakyat. Kini, saatnya mereka membuktikan diri sebagai pemimpin futuris—bukan sekadar pejabat administratif. Pemimpin sejati adalah mereka yang menggerakkan, bukan hanya memerintah.
Kepemimpinan Bukan Sekadar Jabatan
Dalam birokrasi, kerap kali istilah pemimpin disamakan dengan pimpinan. Padahal, dua hal ini berbeda. Pimpinan merujuk pada jabatan struktural, sedangkan pemimpin adalah seseorang yang mempraktikkan kepemimpinan—yang mampu memengaruhi, memberdayakan, dan melayani. John Maxwell, pakar kepemimpinan, pernah berkata: “Pemimpin yang baik selalu membuat sesuatu terjadi.” Sebaliknya, mereka yang hanya mengejar jabatan cenderung sibuk memainkan politik daripada memperjuangkan kesejahteraan publik.
Erwin–Sahid ditantang melampaui zona nyaman birokrasi. Mereka perlu menata ulang makna kekuasaan: dari pengendalian menuju pengaruh; dari perintah menjadi keteladanan; dari birokrat menjadi negarawan.
Tiga Esensi Kepemimpinan
Ada tiga esensi utama yang semestinya menjadi kompas kepemimpinan mereka.
Pertama, pengaruh. Seorang pemimpin yang berintegritas memancarkan pengaruh positif. Ia tidak memimpin dengan kekuasaan, melainkan dengan keteladanan. Atmosfer kerja yang sehat, budaya birokrasi yang melayani, serta semangat kolaboratif akan tumbuh dari pengaruh yang autentik. Kepemimpinan yang inspiratif akan menghidupkan semangat ASN, memicu partisipasi masyarakat, dan memperkuat legitimasi.
Kedua, pemberdayaan. Kepemimpinan bukan tentang melakukan segalanya sendiri, melainkan membangkitkan potensi orang lain. Pemimpin ideal tidak menempatkan ASN sebagai pelaksana semata, tapi sebagai mitra strategis pembangunan. Pemberdayaan itu butuh keberanian memberikan ruang tumbuh, bukan sekadar memberi instruksi. Di sinilah peran coaching dan mentoring menjadi kunci. Sebagaimana Maxwell ungkapkan: “The best leaders are humble enough to realize their victories depend upon their people.”
Ketiga, pelayanan. Paradigma pemimpin sebagai pelayan publik bukan slogan. Pemimpin yang besar bukan mereka yang sibuk dilayani, tapi yang siap hadir dalam kesulitan warganya. Jiwa pelayanan menjadikan pemimpin peka terhadap denyut kebutuhan masyarakat, dan responsif terhadap masalah publik. Pelayanan adalah bukti nyata dari pengabdian.
Melahirkan Pemimpin Baru
Kepemimpinan bukan sekadar tentang masa jabatan, melainkan tentang warisan nilai dan dampak. Ukuran keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya pembangunan fisik yang kasat mata, tapi juga ketika ia berhasil menciptakan pemimpin-pemimpin baru yang lebih baik darinya.
Karena itu, pemimpin sejati harus menjadi sumber energi, bukan beban organisasi. Ia menjadi inspirasi yang dinanti, bukan sosok yang ditakuti. Ia menggali solusi, bukan sekadar memberi jawaban. Ia merawat suasana kerja yang sehat, bukan memupuk rasa takut. Pemimpin yang baik tahu kapan bicara, dan kapan mendengarkan.
Di titik ini, publik Parigi Moutong tentu menaruh harapan tinggi kepada pasangan Erwin–Sahid. Rakyat telah memberi kepercayaan. Kini, giliran mereka membalasnya dengan kerja nyata, arah visi yang futuristik, dan gaya kepemimpinan yang mengakar pada nilai-nilai keteladanan, pemberdayaan, dan pelayanan.
Sebab rakyat tak butuh pemimpin yang sempurna. Mereka hanya butuh pemimpin yang hadir, mengerti, dan menginspirasi. **