Oleh: Dedi Askary, SH
Provinsi dengan kekayaan sumber daya alam melimpah ini adalah anugerah tak ternilai. Sulawesi Tengah (Sulteng), yang memiliki ekosistem kaya dan penting bagi keseimbangan alam, berperan vital dalam melindungi keanekaragaman hayati, menjaga kualitas udara, dan mendukung sistem penyangga kehidupan.
Provinsi ini juga menjadi rumah bagi berbagai spesies tumbuhan dan satwa endemik Sulawesi.
Semestinya, kekayaan sumber daya alam dan ekosistem yang beragam ini mampu membawa peningkatan kesejahteraan bagi warganya. Apalagi, di dalam perut bumi provinsi yang dikenal dengan Negeri 1.000 Megalitikum ini tersimpan kekayaan mineral berlimpah: emas, minyak dan gas, nikel, dan lain-lain. Namun, berkah ini justru seringkali terasa menjadi “petaka” bagi daerah.
Pertambangan tanpa izin (PETI) merajalela di berbagai kabupaten: Buol, Toli-Toli, Kota Palu, Parigi Moutong, Poso, Tojo Una-Una, Morowali, Morowali Utara, Banggai, hingga Banggai Laut. Akibatnya, kerusakan lingkungan sangat masif dan negara kehilangan potensi pendapatan besar.
Belakangan, perdebatan tajam muncul di ruang publik. Banyak pihak mengkritik lemahnya kontribusi sektor pertambangan terhadap pembangunan daerah. Mereka menyesalkan banyaknya perusahaan yang beroperasi tanpa meninggalkan nilai tambah di Sulawesi Tengah, bahkan enggan membuka kantor cabang di daerah operasi, minimal di Kota Palu sebagai ibu kota provinsi.
Secara normatif-yuridis, seluruh urusan tambang kini berada dalam domain pemerintah pusat, sesuai Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020. Pembahasan tentang potensi mineral di perut bumi Sulawesi Tengah bukan semata soal kewenangan, tetapi lebih jauh menyangkut masa depan: apakah Sulteng ingin terus didera masalah ekologis dan kemiskinan struktural akibat tambang, atau bangkit menata ulang sektor ini sebagai bagian dari ekonomi alternatif.
Dilema Konstitusional WPR
Sejak UU Minerba direvisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020, kewenangan izin pertambangan beralih dari provinsi ke pusat. Artinya, gubernur dan bupati hanya bisa mengusulkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), sementara penetapannya tetap di tangan Kementerian ESDM. Inilah titik krusial yang menimbulkan frustrasi di daerah.
Di satu sisi, pemerintah daerah harus bertanggung jawab atas konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan maraknya PETI. Di sisi lain, mereka tidak memiliki instrumen legal untuk melakukan regulasi.
Dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah merasa ‘tidak didengar’. Usulan WPR seringkali terkatung-katung, bahkan tidak ditindaklanjuti. Padahal, legalisasi tambang rakyat melalui WPR adalah solusi konstitusional yang bisa mengubah masalah menjadi potensi. Penetapan WPR dari pusat inilah yang nantinya akan menentukan gubernur atau pemerintah provinsi menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), sebagaimana disebutkan dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Minerba.
Ekonomi Alternatif di Lahan Tambang
Sudah waktunya kita tidak hanya bicara soal legalisasi, tetapi juga transformasi. Tambang rakyat tidak boleh hanya dilegalkan, ia harus diarahkan menuju praktik yang ramah lingkungan, inklusif, dan berkelanjutan. Inilah esensi ekonomi hijau.
Model seperti ini bukan utopia. Di beberapa negara Amerika Latin, seperti Bolivia dan Peru, tambang rakyat dibina secara sistematis melalui koperasi, pelatihan teknis, dan insentif pajak. Mereka menggunakan teknologi bersih tanpa merkuri, memiliki standar keselamatan kerja, dan ikut dalam skema rehabilitasi lahan pascatambang. Sulawesi Tengah pun bisa meniru. Namun, dibutuhkan kemauan politik (political will) dari pusat maupun daerah.
Konservasi bukan hanya soal menambah kawasan hutan lindung, tapi juga soal menyelamatkan fungsi ekologis bentang alam yang terancam tambang. Sungai-sungai di Sulawesi Tengah kini mengalami sedimentasi serius. Aktivitas PETI telah merusak daerah tangkapan air, mencemari DAS, dan mengancam ketahanan pangan serta air bersih.
Di sinilah logika konservasi harus bertemu ekonomi. Pemulihan ekosistem bisa menjadi sumber ekonomi baru melalui jasa ekosistem, pembayaran karbon, dan ekowisata berbasis restorasi tambang. Bekas tambang bukan akhir dari cerita, melainkan titik awal untuk membangun kembali. Konservasi tidak boleh bertentangan dengan pertumbuhan, asalkan dijalankan dengan integritas dan partisipasi masyarakat.
Peran Strategis Gubernur dan Bupati
Gubernur harus mengambil peran strategis sebagai penghubung antara kepentingan pusat dan urgensi daerah, terutama dalam menerbitkan IPR bagi masyarakat yang akan melakukan usaha pertambangan rakyat. Gubernur perlu mendorong sinkronisasi lintas kabupaten untuk mengidentifikasi zona WPR prioritas berbasis data, misalnya lokasi PETI aktif yang dapat ditransformasikan secara legal.
Sementara itu, bupati memiliki peran akar rumput: memastikan masyarakat penambang rakyat mendapat pendampingan teknis, pelatihan, dan akses koperasi. Mereka juga harus memastikan agar CSR perusahaan tambang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar masyarakat lokal, dari air bersih hingga infrastruktur.
Jalan Tengah: Ekosistem Tambang Rakyat Berkelanjutan
Kita memerlukan pendekatan ekosistem, bukan sektoral. Legalitas tanpa pembinaan hanya memindahkan masalah, sementara pembinaan tanpa legalitas adalah basa-basi.
Pertama, regulasi yang ada harus fleksibel dan adaptif. Pemerintah pusat perlu mengeluarkan panduan teknis yang memberi ruang inovasi kepada pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, dalam mengusulkan WPR.
Kedua, platform digital tambang rakyat. Penggunaan dashboard berbasis GIS (Geographic Information System) akan menjadi antarmuka visual yang menampilkan informasi dan data geografis. Ini memungkinkan pemantauan, analisis, dan pengambilan keputusan berdasarkan data lokasi secara real-time. Dashboard ini, yang biasanya menggabungkan peta interaktif dengan elemen visual seperti grafik dan indikator, dapat dipadukan dengan drone untuk mengawasi tambang legal maupun ilegal. Sebab, tambang legal pun seringkali berkontribusi fundamental pada kerusakan lingkungan, perubahan bentang alam, dan pencemaran.
Ekosistem Tambang Rakyat Berkelanjutan memerlukan pendekatan ekosistem, bukan sektoral. Legalitas tanpa pembinaan hanya memindahkan masalah, sementara pembinaan tanpa legalitas adalah basa-basi.
Semua pihak harus punya kemauan kuat mendorong sinkronisasi lintas kabupaten untuk mengidentifikasi zona WPR prioritas berbasis data. Namun demikian, mengingat ini masih berupa gagasan awal, diskusi mendalam secara cermat masih sangat diperlukan. **