Polisi menyita tiga unit ekskavator dari lokasi tambang emas ilegal di Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat, Sulawesi Tengah. Penertiban itu mestinya jadi penanda keseriusan penegakan hukum. Tapi langkah itu justru menimbulkan pertanyaan yang lebih besar. Siapa sebenarnya pemilik alat-alat berat itu?
Warga di sekitar lokasi tahu betul, mendatangkan ekskavator ke tengah hutan bukan urusan sepele. Harus ada jalan yang dibuka, sopir dibayar, logistik dipasok, solar industri disuplai, dan yang tak kalah penting ada pihak-pihak yang harus “diamankan”. Semua itu menuntut dana besar dan jejaring kuat. Mustahil dilakukan oleh buruh tambang atau warga lokal biasa.
Namun hingga kini, aparat hanya menyampaikan bahwa mereka masih menyelidiki identitas pemilik alat berat. Tak ada satu pun nama yang diumumkan.
“Ini bukan sekadar soal alat, ini soal struktur kuasa dan pembiaran,” kata Dedi Askary, pemerhati lingkungan dari Sulawesi Tengah.
Ia menyebut penyitaan ekskavator tanpa pengungkapan pemiliknya hanya akan menjadi “kosmetik penegakan hukum.”
Dedi mengingatkan bahwa eskavator tidak mungkin masuk ke kawasan hutan tanpa sepengetahuan aparat di tingkat bawah. Ia menuding ada pembiaran yang sistematis.

Tiga unit ekskavator yang disita polisi dari lokasi tambang emas ilegal di Kayuboko, Parigi Barat, Sulawesi Tengah. Pemiliknya masih misterius. Foto: Istimewa
“Jangan sampai hukum hanya bekerja untuk memotret buruh tambang. Di belakang alat berat itu ada modal, ada pelindung, dan ada keuntungan besar yang tak pernah tersentuh,” ujarnya kepada media ini, Jumat 27 Juni 2025.
Kecurigaan publik pun tumbuh. Ini bukan kali pertama ekskavator ditarik dari lokasi tambang emas ilegal khususnya di Kabupaten Parigi Moutong. Tapi dari semua penindakan itu, belum pernah ada satu pun aktor besar yang dibawa ke meja hijau. Para operator mesin mungkin diperiksa. Tapi para penyandang dana yang mengatur operasi tambang dari balik meja senantiasa lolos dari jerat hukum.
Padahal, jejak kepemilikan ekskavator bisa ditelusuri. Ada dokumen pengadaan, kontrak sewa, transaksi pembelian BBM, hingga komunikasi digital antar pihak. Semua itu bisa diungkap, jika polisi memang berniat mengusutnya secara tuntas.
“Kalau penegakan hukum mandek di permukaan, maka publik patut menduga ada kepentingan besar yang sedang dilindungi,” kata Askary.
Sebagai warga, kami menuntut transparansi. Siapa yang mengeruk emas dari tanah Kayuboko secara ilegal? Siapa yang mengambil untung, sementara lingkungan rusak dan sungai tercemar? Dan yang terpenting: apakah hukum benar-benar berlaku untuk semua, atau hanya untuk mereka yang tak punya kuasa?
Sebab, jika tiga ekskavator itu disita tapi pemiliknya tak pernah diungkap, maka ini bukan tindakan hukum—melainkan hanya sebuah pertunjukan. Drama kecil yang dipentaskan demi menciptakan ilusi keadilan, di tengah panggung besar bernama pembiaran. **