Sore itu, langit Kota Palu menggantung kelabu. Awan mendung mulai menutupi matahari. Di depan gerai Start Kitchen, Jalan Basuki Rahmat, sekelompok perempuan terlihat menenteng kantong belanja berisi alat-alat dapur wajan, cerek, hingga sendok kayu. Hari itu, Minggu, 10 Muharram 1447 Hijriah, mereka datang bukan karena imbauan, melainkan karena kebiasaan yang telah melekat.
“Sudah lama kami lakukan. Beli alat dapur di 10 Muharram, supaya rumah tangga tetap hangat dan rezeki lancar,” kata Laila, 47 tahun, warga Palu Timur. Ia baru saja membeli satu set panci aluminium yang menurutnya “pas sekali waktunya.”
Di dalam toko, rak-rak dapur tak pernah sepi. Suara aluminium beradu dengan obrolan ringan antar pengunjung. Ada yang datang sendiri, ada pula yang berombongan dengan keluarga mereka.
Tradisi mengganti alat dapur di 10 Muharram adalah jejak budaya yang terus bertahan di tengah kota yang berubah cepat.
Ia mungkin tak sepopuler bubur Asyura, tapi dari rumah ke rumah, dapur baru dihidupkan kembali oleh semangat yang sama; merawat keluarga dan menyambut berkah.