Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) yang tergabung dalam Koalisi Cek Fakta, pada 3 Juni 2025 menggelar audiensi dengan Dewan Pers. Pertemuan ini mengangkat tema “Dengar Pendapat dengan Pemangku Kepentingan dalam Rangka Perlindungan Pemeriksa Fakta”, sebagai respons atas meningkatnya ancaman terhadap para pemeriksa fakta di Indonesia.
Audiensi ini bertujuan menyampaikan dan mendiskusikan tantangan nyata yang dihadapi para pemeriksa fakta, seperti intimidasi, tekanan hukum, hingga kekerasan digital. Selain itu, forum ini menjadi wadah untuk mengidentifikasi bentuk perlindungan yang mendesak guna menjamin keamanan, kebebasan, dan independensi kerja para pemeriksa fakta.
Mia Delliana Mochtar dari AMSI menekankan pentingnya peran pemeriksa fakta dalam menangkal penyebaran hoaks. Namun, profesi ini kerap menghadapi ancaman serius yang membutuhkan perlindungan nyata. Sejak didirikan pada 2018, Koalisi Cek Fakta telah berkembang dari 25 menjadi lebih dari 100 media daring anggota.
Berdasarkan survei internal Koalisi Cek Fakta terhadap 38 responden, sebanyak 10 orang mengaku pernah menerima ancaman. Survei itu juga menunjukkan bahwa 21,05% responden mengalami intimidasi saat menerbitkan konten cek fakta, terutama yang berkaitan dengan politik, satir, kesehatan, Pemilu, dan sepak bola. Dampaknya mencakup trauma psikologis, keengganan menulis ulang, hingga keputusan berhenti dari profesi. Salah satu kasus paling menonjol adalah doxing terhadap pemeriksa fakta Liputan6, yang mengharuskan mereka mengungsi ke rumah aman dan melapor ke Komnas HAM.
Naharin Ni’matun, Koordinator AJI Indonesia, menyoroti bahwa pemeriksa fakta rentan dijerat Undang-Undang ITE.
Ia mengusulkan agar pemeriksa fakta diakui sebagai Human Rights Defender (HRD), serta mendorong adanya SOP pendampingan, kerja sama dengan lembaga strategis seperti Dewan Pers, dan pengakuan atas karya cek fakta sebagai bagian dari produk jurnalistik yang dilindungi hukum.
Aribowo Sasmito dari MAFINDO menambahkan bahwa tren serangan terhadap jurnalis dan pemeriksa fakta, baik dari kalangan media maupun non-media, menunjukkan kecenderungan meningkat—mulai dari doxing nomor pribadi hingga ancaman somasi. Hal ini memperkuat urgensi perlindungan.
Felix Lamuri, Direktur Eksekutif AMSI, turut mendukung pengakuan pemeriksa fakta sebagai HRD serta pentingnya membangun jaringan dengan para pemangku kepentingan.
Anggota Dewan Pers Periode 2025–2028, Abdul Manan, menegaskan bahwa status pemeriksa fakta akan menentukan mekanisme perlindungan yang dapat diterapkan.
Ia menyarankan adanya klasifikasi antara pemeriksa fakta yang berlatar jurnalis dan non-jurnalis.
Sementara itu, Erick Tanjung, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, mengusulkan pembentukan jejaring pengaman bagi pemeriksa fakta non-jurnalis melalui Tim Advokasi untuk Demokrasi—yang terdiri dari pengacara publik PBHI, YLBHI, serta berbagai lembaga bantuan hukum pro bono.
Ia juga menekankan adanya yurisprudensi yang menyatakan bahwa pembela HAM tidak dapat dipidana atas aktivitasnya, termasuk dalam kerja-kerja cek fakta.
Audiensi ini diharapkan mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk ancaman utama yang dihadapi pemeriksa fakta serta kebutuhan perlindungan yang sesuai.
Selain itu, kegiatan ini bertujuan membangun komitmen bersama antara Komite Keselamatan Jurnalis, organisasi media, pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga konseling, dan masyarakat sipil untuk mendukung keselamatan dan independensi pemeriksa fakta. Sebagai tindak lanjut, akan dirumuskan rencana aksi strategis yang dapat diimplementasikan di tingkat lokal maupun nasional. **